1. Sirr dan Jahr
Shalat lima waktu yang dikerjakan pada waktunya
disunnahkan untuk dikeraskan (jahr)
bacaannya pada waktu shalat Maghrib, Isya' dan Shubuh. Sedangkan bacaan pada
shalat Dhuhur dan Ashar disunnah untuk dibaca secara lirih (sirr).
Lalu bagimana dengan shalat yang terlewat dan
diqadha', apakah jahr dan sir mengikuti asal shalatnya ataukah mengikuti waktu
dilaksanakan qadha'? Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat.
a. Jumhur : Ikut Waktu Asal
Jumhur ulama di antaranya Mazhab Al-Hanafiyah,
All-Malikiyah dan Al-Hanabilah sepakat bahwa jahr dan sirr dalam urusan shalat
qadha mengikuti waktu asalnya.
Jadi disunnahkan melirihkan bacaan pada qadha'
shalat Dzhuhur dan Ashar, meski keduanya diqadha' pada malam hari. Dan begitu
juga sebaliknya, disunnahkan mengeraskan bacaan pada qadha shalat Maghrib,
Isya' dan Shubuh, meski pun ketiganya dilakukan pada siang hari.
b. Asy-Syafi'iyah : Ikut Waktu Qadha'
Sedangkan mazhab Asy-syafi'iyah justru
berpendapat sebaliknya dalam urusan jahr dan sirr. Prinsipnya, bacaan qadha'
shalat dikeraskan apabila dikerjakan pada malam hari, dan dilirihkan bila
dilakukan pada siang hari.
Jadi disunnahkan mengeraskan bacaan pada qadha'
shalat Dzhuhur dan Ashar, apabila keduanya diqadha' pada malam hari. Dan begitu
juga sebaliknya, disunnahkan melirihkan bacaan pada qadha shalat Maghrib, Isya'
dan Shubuh, bila ketiganya dilakukan pada siang hari.
2. Tertib
Para ulama sepakat bahwa prinsipnya shalat yang
terlewat karena terlupa wajib dikerjakan begitu ingat, dan tidak boleh ditunda
atau diselingi terlebih dahulu dengan melakukan shalat yang lain.
Dan para ulama juga sepakat bahwa bila seseorang
terlewat dari beberapa waktu shalat dalam satu hari yang sama, maka cara
menggantinya adalah dengan mengurutkan shalat-shalat itu berdasarkan waktu.
Mana yang waktunya lebih awal maka diqadha' terlebih dahulu, dan mana yang
waktunya belakang, diqadha' belakangan.
Dasarnya adalah praktek yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW ketika terlewat empat waktu shalat dalam satu hari yang sama,
beliau SAW mengqadha'nya sesuai urutannya, mulai dari qadha' shalat Dzhuhur,
Ashar, Maghrib dan terakhir Isya'.
إِنَّ الْمُشْرِكِينَ شَغَلُوا رَسُولَ
اللَّهِ عَنْ أَرْبَعِ صَلَوَاتٍ يَوْمَ الْخَنْدَقِ حَتَّى ذَهَبَ مِنَ
اللَّيْلِ مَا شَاءَ اللَّهُ فَأَمَرَ بِلاَلاً فَأَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى
الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ
ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعِشَاءَ
Dari Nafi’ dari Abi Ubaidah bin Abdillah, telah berkata
Abdullah,”Sesungguhnya orang-orang musyrik telah menyibukkan Rasulullah SAW
sehingga tidak bisa mengerjakan empat shalat ketika perang Khandaq hingga malam
hari telah sangat gelap. Kemudian beliau SAW memerintahkan Bilal untuk
melantunkan adzan diteruskan iqamah. Maka Rasulullah SAW mengerjakan shalat
Dzuhur. Kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Ashar. Kemudian
iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Maghrib. Dan kemudian iqamah lagi dan
beliau mengerjakan shalat Isya.” (HR.
At-Tirmizy dan AnNasa’i)
Namun para ulama umumnya tidak lagi mengharuskan
qadha' shalat dilakukan dengan tertib sesuai urutannya manakala jumlah shalat
yang diqadha sangat banyak. Sehingga yang mana saja yang dikerjakan terlebih
dahulu, tidak menjadi masalah.
Maka dalam hal ini ada ulama yang memperbolehkan
shalat-shalat yang sama dikerjakan beberapa kali, berdasarkan waktunya.
Misalnya, setiap selesai melakukan shalat Dzhuhur, maka seseorang boleh
mengqadha beberapa shalat Dhuhur sesuai dengan jumlah yang diinginkannya,
hingga sampai lunas semua hutang-hutangnya.
Nanti ketika selesai menunaikan shalat Ashar,
boleh diqadha' beberapa shalat Ashar yang dahulu pernah terlewat. Dan demikian
juga dengan waktu yang lain, yaitu Maghrib, Isya' dan Shubuh.
3. Adzan dan Iqamah
Jumhur ulama sepakat bahwa qadha shalat lima
waktu tetap disunnahkan untuk didahului dengan adzan dan iqamah. Namun bila
shalat yang dikerjakan terdiri dari beberapa shalat sekaligus, cukup dengan
satu kali adzan namun masing-masing shalat dipisahkan dengan iqamah yang
berbeda.
Namun bila masing-masing shalat qadha' itu
dikerjakan dalam waktu yang terpisah, maka masing-masing disunnahkan untuk
diawali dengan adzan dan iqamah.[1]
4. Qadha' Berjamaah
Para ulama sepakat bahwa shalat qadha' boleh
dilakukan dengan berjamaah, bahkan menjadi sunnah sebagaimana aslinya shalat
lima waktu itu disunnahkan untuk dikerjakan dengan berjamaah.
Dasarnya adalah apa yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW ketika terlewat dari shalat.
وَنُودِيَ بِالصَّلاَةِ فَصَلَّى بِالنَّاسِ
Kemudian diserukan (adzan) untuk shalat dan beliau SAW mengimami
orang-orang. (HR. Bukhari).
Mazhab Asy-Syafi'iyah mensyaratkan adanya
kesamaan bentuk shalat antara imam dan makmum, meski berbeda niat antara keduanya.
Maka dibolehkan antara imam yang mengqadha' shalat Ashar dengan makmum yang
menqadha' shalat Dzhuhur atau Isya'. Namun tidak dibenarkan bila imam
mengqadha' shalat Dzhuhur, Ashar atau Isya', sementara makmumnya mengqadha'
shalat Shubuh atau Maghrib.
Untuk itu setidaknya dalam mazhab ini dibolehkan
bila jumlah rakaat imam lebih sedikit dari jumlah rakaat yang dilakukan oleh
makmumnya.
5. Waktu Pelaksanaan Qadha'
Para ulama sepakat bahwa shalat yang terlewat
wajib untuk diqadha', namun mereka berbeda pendapat apakah qadha' shalat itu
harus dilaksanakan dengan sesegera mungkin, ataukah boleh ditunda. Sebagian
ulama mengatakan qadha' shalat wajib dikerjakan sesegera mungkin, namun
sebagian mengatakan boleh ditunda.
a. Wajib Segera
Mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah menegaskan
bahwa qadha' shalat yang terlewat wajib untuk segera ditunaikan. Keduanya
berpendapat kewajiban shalat qadha' bersifat segera atau fauriy (فوري).
Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang
memerintahkan untuk segera melakukan shalat begitu ingat tanpa
menunda-nundanya.
مَنْ نَسِيَ صَلاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا
Dari Anas bin Malik dari Nabi SAW bersabda,”Siapa yang terlupa shalat, maka
lakukan shalat ketika ia ingat (HR.
Bukhari)
b. Tidak Wajib Segera
Sedangkan mazhab Asy-Syafi'iyah menyebutkan
bahwa seseorang yang tertinggal dari mengerjakan shalat, wajib atasnya untuk
mengganti shalatnya. Namun tidak diharuskan untuk dikerjakan sesegera mungkin,
apabila udzur dari terlewatnya shalat itu diterima secara syar'i. Dalam hal ini
kewajiban qadha' shalat itu bersifat tarakhi (تراخي).
Tetapi bila sebab terlewatnya tidak diterima
secara syar'i, seperti karena lalai, malas, dan menunda-nunda waktu, maka
diutamakan shalat qadha' untuk segera dilaksanakan secepatnya.
Bolehnya menunda shalat qadha' yang terlewat
dalam mazhab ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari
berikut ini :
لاَ ضَيْرَ - أَوْ لاَ يَضِيرُ - ارْتَحِلُوا
فَارْتَحَل فَسَارَ غَيْرَ بَعِيدٍ ثُمَّ نَزَل فَدَعَا بِالْوَضُوءِ فَتَوَضَّأَ
وَنُودِيَ بِالصَّلاَةِ فَصَلَّى بِالنَّاسِ
Rasulullah beliau menjawab,"Tidak mengapa", atau " tidak
menjadi soal". "Lanjutkan perjalanan kalian". Maka beliau SAW
pun berjalan hingga tidak terlalu jauh, beliau turun dan meminta wadah air dan
berwudhu. Kemudian diserukan (adzan) untuk shalat dan beliau SAW mengimami orang-orang. (HR. Bukhari).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar